Pengawas Dikmen - Jl. Dr. Cipto No 35 Sumenep - Madura - Jatim

Program Rintisan Pendidikan Profesi Guru

Program Rintisan Pendidikan Profesi Guru Terintegrasi Kolaboratif
Hingga hari ini menurut Surat keputusan Dirjen Mandikdasmen, No.251/c/Kep/MM/2008 tentang Spektrum Keahlian Pendidikan Menengah Kejuruan, terdapat tidak kurang dari 121 jenis kompetensi keahlian yang dipelajari di jenjang pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan. Data tersebut tentunya menunjukan keragaman keahlian yang dapat dipersiapkan oleh SMK untuk menghasilkan lulusan yang terkompetensi pada jenis-jenis keahlian tersebut. Walaupun begitu pada kenyataannya kondisi saat ini, keragaman keahlian atau kompetensi ini tidak diimbangi dengan ketersedian guru atau para pendidik yang mumpuni dalam mengampu proses pembelajaran keahlian di jenjang pendidikan SMK tersebut.

Sebuah data mencatat bahwa fenomena yang terjadi saat ini adalah masih adanya disparitas guru yang sesuai dengan struktur kurikulum pada jenjang SMK. Struktur kurikulum yang menyangga proses pembelajaran di jenjang SMK terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok adiptif, kelompok normatif dan kelompok produktif. Kelompok Adiptif adalah mata pelajaran yang berfungsi untuk menyiapkan kemampuan dasar yang memiliki daya transfer terhadap semua mata pelajaran keahlian seperti Matematika, Fisika, Bahasa Inggris , Kimia, IPA dan Kewirausahaan. Kelompok mata pelajaran normatif menyiapkan para peserta didik yang memiliki kompetensi kepribadian sebagai manusia Indonesia, mata pelajaran yang masuk dalam katagori ini adalah Bahasa Indonesia, Pendidikan Jasmani, Sejarah Nasional dan Sejarah Umum, Pelajaran Agama serta Pendidikan Kewarganegaraan. Katagori terakhri adalah katagori mata pelajaran produktif. Mata pelajaran yang termasuk katagori ini adalah mempersiapkan peserta didik untuk memiliki keahlian yang handal dalam lebih dari 121 kompetensi keahlian. Kondisi hari ini menyebutkan bahwa tidak kurang dari 5.980 guru adiptif di butuhkan untuk mengisi kekurangan guru yang mengampu pembelajaran mata pelajaran yang dikatagorikan adiptif, sedangkan untuk mata pelajaran produktif tercatat memiliki kekurangan guru sebanyak 18.165 orang guru. Gambaran kekurangan guru kedua mata pelajaran ini berbanding terbalik dengan kondisi mata pelajaran normative, dimana terjadi kelebihan guru sebanyak 16.046 guru. Sebagai jenjang pendidikan yang mengutamakan pola pendidikan keterampilan, gambaran yang dipaparkan di atas tentunya bukan sesuatu yang menyenangkan, dan justru menyiratkan sebuah kondisi dimana proses pembelajaran di SMK lebih banyak diampu oleh guru yang belum memiliki latar belakang pendidikan keahlian.Program Rintisan PPGT Kolaboratif lahir atas kebutuhan tersebut. Program ini dilaksanakan melalui integrasi dan kolaborasi antara dua institusi (LPTK dengan Politeknik atau Universitas) dalam menjalankan program pendidikan profesi guru SMK Produktif yang pada umumnya tidak atau belum ada di LPTK dan bidang-bidang lain yang memiliki kebutuhan guru yang tinggi dilapangan sementara lulusan LPTK sendiri masih terbatas. Calon mahasiswa yang dibidik pada program ini adalah lulusan program S1 Kependidikan dan program S1/D-IV Non Kependidikan.

Model pelaksanaannya setelah lulus seleksi, calon harus mengikuti program Pendidikan Profesi Guru dalam dua semester. Semester pertama terdiri dari pendalaman bidang studi dan pendalaman bidang kependidikan serta Program workshop Pengembangan perangkat pembelajaran (PPP). Bagi peserta yang berasal dari S1 Kependidikan, sebelum mengikuti pelatihan PPP, harus mengikuti pendalaman materi bidang studi, sementara peserta yang berasa dari S1/D-IV Non-kependidikan harus mengikuti pendalaman bidang kependidikan. Pada semester kedua semua peserta wajib mengikuti program Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) di SMK untuk melatih kompetensi pembelajarannya. Hingga hari ini menurut Surat keputusan Dirjen Mandikdasmen, No.251/c/Kep/MM/2008 tentang Spektrum Keahlian Pendidikan Menengah Kejuruan, terdapat tidak kurang dari 121 jenis kompetensi keahlian yang dipelajari di jenjang pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan. Data tersebut tentunya menunjukan keragaman keahlian yang dapat dipersiapkan oleh SMK untuk menghasilkan lulusan yang terkompetensi pada jenis-jenis keahlian tersebut. Walaupun begitu pada kenyataannya kondisi saat ini, keragaman keahlian atau kompetensi ini tidak diimbangi dengan ketersedian guru atau para pendidik yang mumpuni dalam mengampu proses pembelajaran keahlian di jenjang pendidikan SMK tersebut. Rekrutmen bagi calon peserta PPG SMK Produktif tahun 2013 akan dimulai tanggal 24-30 Juni 2013, kesempatan ini dibuka seluas-luasnya bagi lulusan Sarjana (S1) dan Diploma Saintek (D4) dari berbagai program studi eligible untuk mendaftar, Klik Disini.
Share:

Bimtek Kurikulum 2013

PELATIHAN PENDAMPINGAN KURIKULUM 2013 
BAGI KEPSEK DAN PENGAWAS SMK DI HOTEL NEW VICTORY 
KOTA BATU - TGL 17 sd 20 OKTOBER 2013 



Foto-foto kegiatan dalam pelaksanaan Pelatihan Pendampingan Kurikulum 2013 bagi Pengawas SMK se Jawa Timur di New Victory Kota Batu, kelompok I : Ibu Drs. Rr. Dwi Retno Udjiati Ningsih, M.Pd Pengawas SMK Kota Malang, sedang Presentasi Penerapan Pendekatan Saintifik Dalam Kegiatan Pembelajaran Kurikulum 2013.
 
Bagi teman-teman yang masih belum punya Aplikasi Pelaporan Pendampingan Kurikulum 2013 Online/Offilene, silahkan anda download beserta tutorialnya, disini :

1. Tutorial membuka aplikasi Offline, Klik Disini.

2. Download Aplikasi, Klik Disini.


Share:

Pergeseran Paradigma Belajar Abad 21


Tema pengembangan kurikulum 2013 adalah dapat menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif melalui penguatan sikap (tahu mengapa), keterampilan (tahu bagaimana), dan pengetahuan (tahu apa) yang terintegrasi. Diakui dalam perkembangan kehidupan dan ilmu pengetahuan abad 21, kini memang telah terjadi pergeseran baik ciri maupun model pembelajaran. Inilah yang diantisipasi pada kurikulum 2013. Skema 1 menunjukkan pergeseran paradigma belajar abad 21yang berdasarkan ciri abad 21 dan model pembelajaran yang harus dilakukan.

 
Gambar 1

Gambar 2

Gambar 3
Sedang gambar 1 adalah posisi kurikulum 2013 yang terintegrasi sebagaimana tema pada pengembangan kurikulum 2013. Sudah barang tentu untuk mencapai tema itu, dibutuhkan proses pembelajaran yang mendukung kreativitas. Itu sebabnya perlu merumuskan kurikulum yang mengedepankan pengalaman personal melalui proses mengamati, menanya, menalar, dan mencoba (observation based learning) untuk meningkatkan kreativitas peserta didik. Di samping itu, dibiasakan bagi peserta didik untuk bekerja dalam jejaringan melalui collaborative learning. Pertanyaannya, pada pengembangan kurikulum 2013 ini, apa saja elemen kurikulum yang berubah? Empat standar dalam kurikulum meliputi standar kompetensi lulusan, proses, isi, dan standar penilaian akan berubah sebagaimana ditunjukkan dalam skema elemen perubahan.
Perubahan yang Diharapkan
Pengembangan kurikulum­­ 2013, selain untuk memberi jawaban terhadap beberapa permasalahan yang melekat pa­da kurikulum 2006, bertujuan ju­ga untuk mendorong peserta didik atau siswa, mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan meng­omunikasikan (mempresentasikan), apa yang di­ per­oleh atau diketahui setelah siswa menerima materi pembelaj­aran.

Gambar 4
Melalui pendekatan itu di­harapkan siswa kita memiliki kom­petensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang jauh lebih ba­ik. Mereka akan lebih kreatif, inovatif, dan lebih produktif. Sedikitnya ada lima entitas, masing-masing peserta didik, pendidik dan tenaga kepe­ndidikan, manajemen satuan pendidikan, Negara dan bangsa, serta masyarakat umum, yang diharapkan mengalami perubahan. Skema 2 menggam­barkan perubahan yang diharapkan pada masing-masing en­itas.
Share:

Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran Kontekstual

(Contextual Teaching Learning)

Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi menggingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan kehidupan jangka panjang. Pendekatan Pembelajaran Kontekstual/Contextual Teaching Learning adalah mempraktikkan konsep belajar yang mengaitkan materi yang dipelajari dengan situasi dunia nyata siswa. Siswa secara bersama-sama membentuk suatu sistem yang memungkinkan mereka melihat makna di dalamnya.

Pembelajaran Kontekstual atau Contextual Teaching Learning (CTL) mengasumsikan bahwa secara natural pikiran mencari makna konteks sesuai dengan situasi nyata lingkungan seseorang melalui pencarian hubungan masuk akal dan bermanfaat. Melalui pemaduan materi yang dipelajari dengan pengalaman keseharian siswa akan menghasilkan dasar-dasar pengetahuan yang mendalam. Siswa akan mampu menggunakan pengetahuannya untuk menyelesaikan masalah-masalah baru dan belum pernah dihadapinya dengan peningkatan pengalaman dan pengetahuannya. Siswa diharapkan dapat membangun pengetahuannya yang akan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan memadukan materi pelajaran yang telah diterimanya di sekolah.

Pembelajaran Kontekstual/Contextual Teaching Learning merupakan satu konsepsi pengajaran dan pembelajaran yang membantu guru mengaitkan bahan subjek yang dipelajari dengan situasi dunia sebenarnya dan memotivasikan pembelajar untuk membuat kaitan antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan harian mereka sebagai ahli keluarga, warga masyarakat, dan pekerja.

Pembelajaran Kontekstual/Contextual Teaching Learning adalah sebuah sistem belajar yang didasarkan pada filosofi bahwa siswa mampu menyerap pelajaran apabila mereka menangkap makna dalam materi akademis yang mereka terima, dan mereka menangkap makna dalam tugas-tugas sekolah jika mereka bisa mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya (Elaine B. Johnson, 2007:14).

Dalam Pembelajaran Kontekstual/Contextual Teaching Learning, ada delapan komponen yang harus ditempuh, yaitu: (1) Membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, (2) melakukan pekerjaan yang berarti, (3) melakukan pembelajaran yang diatur sendiri, (4) bekerja sama, (5) berpikir kritis dan kreatif, (6) membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, (7) mencapai standar yang tinggi, dan (8) menggunakan penilaian otentik (Elaine B. Johnson, 2007: 65-66).

Berdasarkan pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa Pembelajaran Kontekstual/Contextual Teaching Learning adalah mempraktikkan konsep belajar yang mengaitkan materi yang dipelajari dengan situasi dunia nyata siswa. Siswa secara bersama-sama membentuk suatu sistem yang memungkinkan mereka melihat makna di dalamnya.

Pembelajaran Kontekstual/Contextual Teaching Learning merupakan konsep belajar yang membantu para guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru kepada siswa. Proses pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.

Pembelajaran Kontekstual/Contextual Teaching Learning adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan meraka (Sanjaya, 2005:109).

Dari konsep tersebut ada tiga hal yang harus kita pahami. Pertama, pembelajaran Kontekstual/Contextual Teaching Learning menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi. Artinya, proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks Pembelajaran Kontekstual/Contextual Teaching Learning tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, tetapi yang diutamakan adalah proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.

Kedua, pembelajaran Kontekstual/Contextual Teaching Learning mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata. Artinya, siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting sebab dengan dapat mengkorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, materi yang dipelajarinya itu akan bermakna secara fungsional dan tertanam erat dalam memori siswa sehingga tidak akan mudah terlupakan.

Ketiga, pembelajaran Kontekstual/Contextual Teaching Learning mendorong siswa untuk dapat menerapkan pengetahuannya dalam kehidupan. Artinya, Pembelajaran Kontekstual/Contextual Teaching Learning tidak hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, tetapi bagaimana materi itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks Pembelajaran Kontekstual/Contextual Teaching Learning tidak untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, tetapi sebagai bekal bagi mereka dalam kehidupan nyata.

Terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan Kontekstual:

  1. Dalam Pembelajaran Kontekstual/Contextual Teaching Learning pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activing knowledge). Artinya, apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari. Dengan demikian, pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain.
  2. Pembelajaran yang kontekstual adalah pembelajaran dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge).  Pengetahuan baru itu dapat diperoleh dengan cara deduktif. Artinya, pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan kemudian memperhatikan detailnya.
  3. Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge) berarti pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal, melainkan untuk dipahami dan diyakini.
  4. Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge). Artinya, pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
  5. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan dan penyempurnaan strategi.

Di sisi lain, Hernowo (2005:93) menawarkan langkah-langkah praktis menggunakan strategi pebelajaran Kontekstual/Contextual Teaching Learning.

  1. Kaitkan setiap mata pelajaran dengan seorang tokoh yang sukses dalam menerapkan mata pelajaran tersebut.
  2. Kisahkan terlebih dahulu riwayat hidup sang tokoh atau temukan cara-cara sukses yang ditempuh sang tokoh dalam menerapkan ilmu yang dimilikinya.
  3. Rumuskan dan tunjukkan manfaat yang jelas dan spesifik kepada anak didik berkaitan dengan ilmu (mata pelajaran) yang diajarkan kepada mereka.
  4. Upayakan agar ilmu-ilmu yang dipelajari di sekolah dapat memotivasi anak didik untuk mengulang dan mengaitkannya dengan kehidupan keseharian mereka.
  5. Berikan kebebasan kepada setiap anak didik untuk mengkonstruksi ilmu yang diterimanya secara subjektif sehingga anak didik dapat menemukan sendiri cara belajar alamiah yang cocok dengan dirinya.
  6. Galilah kekayaan emosi yang ada pada diri setiap anak didik dan biarkan mereka mengekspresikannya dengan bebas.
  7. Bimbing mereka untuk menggunakan emosi dalam setiap pembelajaran sehingga anak didik penuh arti (tidak sia-sia dalam belajar di sekolah).

Berdasarkan penjelasan di atas, berarti pendekatan kontekstual bertujuan membekali siswa dengan pengetahuan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan ke permasalahan lain dan dari satu konteks ke konteks lainnya. Dengan transfer diharapkan: (a) siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari ‘pemberian orang lain’; (b) keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sempit) sedikit demi sedikit; (c) penting bagi siswa tahu ‘untuk apa’ ia belajar, dan ‘bagaimana’ ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu.

Diambil dan adaptasi dari:

Endah Ariani Madusari, dkk.  2009. Metodologi Pembelajaran. Jakarta: Depdiknas

 

Share:

Pembelajaran Berdasarkan Masalah – Problem Based Learning

Pembelajaran Berdasarkan Masalah – Problem Based Learning 
A. Konsep Dasar
Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Learning/PBL) adalah suatu model pembelajaran yang didasarkan pada prinsip menggunakan masalah sebagai titik awal akuisisi dan integrasi pengetahuan baru. Model pembelajaran ini pada dasarnya mengacu kepada pembelajaran-pembelajaran mutakhir lainnya seperti pembelajaran berdasar proyek (project based instruction), pembelajaran berdasarkan pengalaman (experience based instruction), pembelajaran autentik (authentic instruction), dan pembelajaran bermakna.
Berbeda dengan pembelajaran penemuan (inkuiri-diskoveri) yang lebih menekankan pada masalah akademik. Dalam Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Learning), pemecahan masalah didefinisikan sebagai proses atau upaya untuk mendapatkan suatu penyelesaian tugas atau situasi yang benar-benar nyata sebagai masalah dengan menggunakan aturan-aturan yang sudah diketahui. Jadi, Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Learning) lebih memfokuskan pada masalah kehidupan nyata yang bermakna bagi siswa.
B. Alasan Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Learning)
Beberapa alasan mengapa Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Learning) digunakan dalam proses pembelajaran:
  1. Seorang lulusan tidak dapat menaggulangi masalah yang dihadapinya hanya dengan menggunakan satu disiplin ilmu. Ia harus mampu menggunakan dan memadukan ilmu-ilmu pengetahuan yang telah dipunyai atau mencari ilmu pengetahuan yang dibutuhkannya dalam rangka menanggulangi masalahnya. Melalui Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Learning) yang diawali dengan pemberian masalah pemicu kepada siswa dapat menerapkan suatu model pembelajaran secara spiral (spiral learning model) dengan memilih konsep dan prinsip yang terdapat dalam sejumlah cabang ilmu, sesuai kebutuhan masalah. Dengan diberi sejumlah masalah pemicu, diharapkan sebagian besar/seluruh materi cabang ilmu dicakup.
  2. Integrasi antara berbagai konsep/prinsip/informasi cabang ilmu dapat terjadi
  3. Kemampuan siswa untuk secara terus menerus melakukan “up-dating”/pengembangan pengetahuannya tercapai
  4. Perilaku sebagai seorang “ life long learner” dapat tercapai
  5. Langkah-langkah PBL yang dilaksanakan melalui diskusi kelompok dapat menghasilkan sejumlah keterampilan diantaranya: (a) keterampilan penelusuran kepustakaan; (b) keterampilan membaca; (c) keterampilan/kebiasaan membuat catatan; (d) kemampuan kerjasama dalam kelompok; (e) keterampilan berkomunikasi; (f) keterbukaan; (g) berpikir analitik; (h) kemandirian dan keaktifan belajar; dan (i) wawasan dan keterpaduan ilmu pengetahuan
  6. Dapat mengimbangi kecepatan informasi atau ilmu pengetahuan yang sangat cepat.
C. Karakteristik Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Learning)
Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Learning) memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:
  1. Mengorientasikan siswa kepada masalah autentik dan menghindari pembelajaran terisolasi
  2. Berpusat pada siswa dalam jangka waktu lama
  3. Menciptakan pembelajaran interdisiplin,
  4. Penyelidikan masalah autentik yang terintegrasi dengan dunia nyata dan pengalaman praktis .
  5. Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya
  6. Mengajarkan kepada siswa untuk mampu menerapkan apa yang mereka pelajari di sekolah dalam kehidupannya yang panjang
  7. Pembelajaran terjadi pada kelompok kecil (kooperatif).
  8. Guru berperan sebagai fasilitator, motivator dan pembimbing.
  9. Masalah diformulasikan untuk memfokuskan dan merangsang pembelajaran
  10. Masalah adalah kendaraan untuk pengembangan keterampilan pemecahan masalah.
  11. Informasi baru diperoleh lewat belajar mandiri.
D. Keunggulan Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Learning) memiliki beberapa keunggulan, diantaranya: (1) siswa lebih memahami konsep yang diajarkan sebab mereka sendiri yang menemukan konsep tersebut; (2) melibatkan secara aktif memecahkan masalah dan menuntut keterampilan berpikir siswa yang lebih tinggi; (3) pengetahuan tertanam berdasarkan skemata yang dimiliki siswa sehingga pembelajaran lebih bermakna; (4) siswa dapat merasakan manfaat pembelajaran sebab masalah-masalah yang diselesaikan langsung dikaitkan dengan kehidupan nyata, hal ini dapat meningkatkan motivasi dan ketertarikan siswa terhadap bahan yang dipelajari; (5) menjadikan siswa lebih mandiri dan dewasa, mampu memberi aspirasi dan menerima pendapat orang lain, menanamkan sikap sosial yang positif diantara siswa; dan (6) pengkondisian siswa dalam belajar kelompok yang saling berinteraksi terhadap pembelajar dan temannya sehingga pencapaian ketuntasan belajar siswa dapat diharapkan.
Selain itu, Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Learning) diyakini pula dapat menumbuhkan-kembangkan kemampuan kreatifitas siswa, baik secara individual maupun secara kelompok karena hampir di setiap langkah menuntut adanya keaktifan siswa.
Keberhasilan model Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Learning) sangat tergantung pada ketersediaan sumber belajar bagi siswa, alat-alat untuk menguji jawaban atau dugaan. Menuntut adanya perlengkapan praktikum, memerlukan waktu yang cukup apalagi data harus diperoleh dari lapangan, serta kemampuan guru dalam mengangkat dan merumuskan masalah.
Dalam model Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Learning) ini, guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator, pembimbing dan motivator. Guru mengajukan masalah otentik/mengorientasikan siswa kepada permasalahan nyata (real world), memfasilitasi/membimbing (scaffolding) dalam proses penyelidikan, memfasilitasi dialog antara siswa, menyediakan bahan ajar siswa serta memberikan dukungan dalam upaya meningkatkan temuan dan perkembangan intektual siswa.
E. Langkah-langkah Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Pengelolaan Pembelajaran Berdasarkan Masalah terdapat 5 langkah utama. yaitu: (1) mengorientasikan siswa pada masalah; (2) mengorganisasikan siswa untuk belajar; (3) memandu menyelidiki secara mandiri atau kelompok; (4) mengembangkan dan menyajikan hasil kerja; dan (5) menganalisis dan mengevaluasi hasil pemecahan masalah. Gambaran rinci kelima langkah tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 1. Prosedur Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Langkah-langkah
Kegiatan Guru
Orientasi masalah
·   Menginformasikan tujuan pembelajaran
·   Menciptakan lingkungan kelas yang memungkinkan terjadi pertukaran ide yang terbuka
·   Mengarahkan pada pertanyaan atau masalah
·   Mendorong siswa mengekspresikan ide-ide secara terbuka
Mengorganisasikan siswa untuk belajar
·   Membantu siswa menemukan konsep berdasar masalah
·   Mendorong keterbukaan, proses-proses demokrasi dan cara belajar siswa aktif
·   Menguji pemahaman siswa atas konsep yang ditemukan
Membantu menyelidiki secara mandiri atau kelompok
·   Memberi kemudahan pengerjaan siswa dalam mengerjakan/menyelesaikan masalah
·   Mendorong kerjasama dan penyelesaian tugas-tugas
·   Mendorong dialog, diskusi dengan teman
·   Membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas belajar yang berkaitan dengan masalah
·   Membantu siswa merumuskan hipotesis
·   Membantu siswa dalam memberikan solusi
Mengembangkan dan menyajikan hasil kerja
·   Membimbing siswa mengerjakan lembar kegiatan siswa (LKP)
·   Membimbing siswa menyajikan hasil kerja
Menganalisa dan mengevaluasi hasil pemecahan
·   Membantu siswa mengkaji ulang hasil pemecahan masalah
·   Memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemcahan masalah
·   Mengevaluasi materi
Share:

Pembelajaran Inkuiri

Pembelajaran Inkuiri

 

A. Konsep Dasar

Pembelajaran inkuiri merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki sesuatu (benda, manusia atau peristiwa) secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.

Pembelajaran inkuiri menekankan kepada proses mencari dan menemukan. Materi pelajaran tidak diberikan secara langsung. Peran siswa dalam pembekajaran ini adalah mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran, sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan pembimbing siswa untuk belajar. Pembelajaran inkuiri merupakan rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Proses berpikir itu sendiri biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan siswa. Pembelajaran ini sering juga dinamakan pembelajaran heuristic, yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu heuriskein yang berarti “saya menemukan”.

Joyce (Gulo, 2005) mengemukakan kondisi-kondisi umum yang merupakan syarat bagi timbulnya kegiatan inkuiri bagi siswa, yaitu : (1) aspek sosial di dalam kelas dan suasana bebas-terbuka dan permisif yang mengundang siswa berdiskusi; (2) berfokus pada hipotesis yang perlu diuji kebenarannya; dan (3) penggunaan fakta sebagai evidensi dan di dalam proses pembelajaran dibicarakan validitas dan reliabilitas tentang fakta, sebagaimana lazimnya dalam pengujian hipotesis.

B. Ciri-ciri Pembelajaran Inkuiri

Pembelajaran inkuiri   memiliki beberapa ciri, di antaranya:

Pertama, pembelajaran inkuiri menekankan kepada aktivitas siswa secara maksimal untuk mencari dan menemukan. Artinya, pada pembelajaran inkuiri menempatkan siswa sebagai subjek belajar. Dalam proses pembelajaran, siswa tidak hanya berperan sebagai penerima materi pelajaran melalui penjelasan guru secara verbal, tetapi mereka berperan untuk menemukan sendiri inti dari materi pelajaran itu sendiri.

Kedua, seluruh aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan sikap percaya diri (self belief). Dengan demikian, pada pembelajaran inkuiri menempatkan guru bukan sebagai satu-satunya sumber belajar,  tetapi lebih diposisikan sebagai fasilitator dan motivatorbelajar siswa. Aktivitas pembelajaran biasanya dilakukan melalui proses tanya jawab antara guru dan siswa. Karena itu kemampuan guru dalam menggunakan teknik bertanya merupakan syarat utama dalam melakukan inkuiri. Guru dalam mengembangkan sikap inkuiri di kelas mempunyai peranan sebagai konselor, konsultan, teman yang kritis dan fasilitator. Ia harus dapat membimbing dan merefleksikan pengalaman kelompok, serta memberi kemudahan bagi kerja kelompok.

Ketiga, tujuan dari pembelajaran inkuiri adalah mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis, logis, dan kritis, atau mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental. Dengan demikian, dalam pembelajaran inkuiri siswa tidak hanya dituntut untuk menguasai materi pelajaran, akan tetapi bagaimana mereka dapat menggunakan potensi yang dimilikinya. Manusia yang hanya menguasai pelajaran belum tentu dapat mengembangkan kemampuan berpikir secara optimal. Sebaliknya, siswa akan dapat mengembangkan kemampuan berpikirnya manakala ia bisa menguasai materi pelajaran.

C. Prinsip-Prinsip  Pembelajaran Inkuiri

Pembelajaran inkuiri mengacu pada prinsip-prinsip berikut ini:

  1. Berorientasi pada Pengembangan Intelektual. Tujuan utama dari pembelajaran inkuiri adalah pengembangan kemampuan berpikir. Dengan demikian, pembelajaran ini selain berorientasi kepada hasil belajar juga berorientasi pada proses belajar.
  2. Prinsip Interaksi. Proses pembelajaran pada dasarnya adalah proses interaksi, baik interaksi antara siswa maupun interaksi siswa dengan guru, bahkan interaksi antara siswa dengan lingkungan. Pembelajaran sebagai proses interaksi berarti menempatkan guru bukan sebagai sumber belajar, tetapi sebagai pengatur lingkungan atau pengatur interaksi itu sendiri.
  3. Prinsip Bertanya. Peran guru yang harus dilakukan dalam menggunakan pembelajaran ini adalah guru sebagai penanya. Sebab, kemampuan siswa untuk menjawab setiap pertanyaan pada dasarnya sudah merupakan sebagian dari proses berpikir. Dalam hal ini, kemampuan guru untuk bertanya dalam setiap langkah inkuiri sangat diperlukan. Di samping itu, pada pembelajaran  ini juga perlu dikembangkan sikap kritis siswa dengan selalu bertanya dan mempertanyakan berbagai fenomena yang sedang  dipelajarinya.
  4. Prinsip Belajar untuk Berpikir. Belajar bukan hanya mengingat sejumlah fakta, akan tetapi belajar adalah proses berpikir (learning how to think), yakni proses mengembangkan potensi seluruh otak. Pembelajaran berpikir adalah pemanfaatan dan penggunaan otak secara maksimal.
  5. Prinsip Keterbukaan. Pembelajaran yang bermakna adalah pembelajaran yang menyediakan berbagai kemungkinan sebagai hipotesis yang harus dibuktikan kebenarannya. Tugas guru adalah menyediakan ruang untuk memberikan kesempatan kepada siswa mengembangkan hipotesis dan secara terbuka membuktikan kebenaran hipotesis yang diajukannya.

D.  Langkah-Langkah Pelaksanaan Pembelajaran Inkuiri

Proses pembelajaran inkuiri dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:

  1. Merumuskan masalah; kemampuan yang dituntut adalah : (a) kesadaran terhadap masalah; (b) melihat pentingnya masalah dan (c) merumuskan masalah.
  2. Mengembangkan hipotesis; kemampuan yang dituntut dalam mengembangkan hipotesis ini adalah : (a) menguji dan menggolongkan data yang dapat diperoleh; (b) melihat dan merumuskan hubungan yang ada secara logis; dan merumuskan hipotesis.
  3. Menguji jawaban tentatif; kemampuan yang dituntut adalah : (a) merakit peristiwa, terdiri dari : mengidentifikasi peristiwa yang dibutuhkan, mengumpulkan data, dan mengevaluasi data; (b) menyusun data, terdiri dari : mentranslasikan data, menginterpretasikan data dan mengkasifikasikan data.; (c) analisis data, terdiri dari : melihat hubungan, mencatat persamaan dan perbedaan, dan mengidentifikasikan trend, sekuensi, dan keteraturan.
  4. Menarik kesimpulan; kemampuan yang dituntut adalah: (a) mencari pola dan makna hubungan; dan (b) merumuskan kesimpulan
  5. Menerapkan kesimpulan dan generalisasi

E.  Keunggulan dan Kelemahan Pembelajaran Inkuiri

Pembelajaran inkuiri merupakan pembelajaran yang banyak dianjurkan, karena  memiliki beberapa keunggulan, di antaranya:

  1. Pembelajaran ini merupakan pembelajaran yang menekankan kepada pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara seimbang,  sehingga pembelajaran melalui pembelajaran ini dianggap jauh lebih bermakna.
  2. Pembelajaran ini dapat memberikan ruang kepada siswa untuk belajar sesuai dengan gaya belajarmereka.
  3. Pembelajaran ini merupakan strategi yang dianggap sesuai dengan perkembangan psikologi belajar modern yang menganggap belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman.
  4. Keuntungan lain adalah dapat melayani kebutuhan siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Artinya, siswa yang memiliki kemampuan belajar bagus tidak akan terhambat oleh siswa yang lemah dalam belajar.

Di samping memiliki keunggulan, pembelajaran ini juga mempunyai kelemahan, di antaranya:

  1. Sulit mengontrol kegiatan dan keberhasilan siswa.
  2. Sulit dalam merencanakan pembelajaran oleh karena terbentur dengan kebiasaan siswa dalam belajar.
  3. Kadang-kadang dalam mengimplementasikannya, memerlukan waktu yang panjang sehingga sering guru sulit menyesuaikannya dengan waktu yang telah ditentukan.
  4. Selama kriteria keberhasilan belajar ditentukan oleh kemampuan siswa menguasai materi pelajaran, maka  strategi  ini tampaknya akan sulit diimplementasikan.

 

Share:

Popular Posts